Raja Ali Haji (RAH) dilahirkan di Pulau Penyengat (sekarang masuk wilayah Kepulauan Riau, Indonesia) pada tahun 1808 dari ayah bernama Raja Ahmad (bergelar Engku Haji Tua) dan seorang ibu bernama Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor. Raja Ali Haji adalah cucu dari Raja Haji Fisabilillah Yang Dipertuan Muda Riau Ke-IV dari Kerajaan Riau-Lingga dan merupakan keturunan bangsawan Bugis. Raja Ali Haji memiliki beberapa saudara laki-laki dan perempuan dari ayah yang sama, yaitu Raja Haji Daud (sulung), Raja Endut alias Raja Umar, Raja Salehah, Raja Cik, Raja Aisyah, Raja Abdullah, Raja Ishak, Raja Muhammad, Raja Abu Bakar, dan Raja Siti (bungsu). Keluarga Raja Ahmad ini termasuk orang-orang yang gemar menulis. Sebagai sastrawan, Raja Ahmad pernah menghasilkan setidaknya tiga buah karya yaitu Syair Engku Putri, Syair Perang Johor dan Syair Raksi. Darah sastrawan yang ada pada diri Raja Ahmad tersebut tumbuh dan berkembang lebih besar pada diri Raja Ali Haji.
Sejak kanak-kanak, Raja Ali Haji mendapat pendidikan di lingkungan istana kerajaan Penyengat dari para ulama yang datang dari berbagai negeri untuk mengajarkan Islam. Untuk menambah wawasan, Raja Ali Haji seringkali mengikuti perjalanan ayahnya ke berbagai daerah untuk berdagang, termasuk perjalanan pergi haji. Tahun 1822 ia bersama sang ayah pergi ke Betawi menjumpai Gubernur Jendral Baron van der Capellen. Saat itu, ia sempat menonton “Komidi Holanda” di “Schouwbrurg” (sekarang Gedung Kesenian Jakarta). Tahun 1826, bersama sang ayah ia berniaga ke pulau Jawa dan sempat bertemu dengan Residen Jepara D.W. Punket van Haak. Sekitar tahun 1827, Raja Ali Haji bersama ayahnya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kemudian tinggal di sana selama setahun untuk memperluas pengetahuan agama. Di Mekah, ia sempat belajar beberapa bidang keislaman dan ilmu bahasa Arab pada Syeikh Daud bin Abdullah Al-Fatani.
Berbekal pengembaraan intelektual dan pengalaman yang telah dilaluinya, Raja Ali Haji tumbuh menjadi pemuda berwawasan luas. Meskipun usianya masih muda, ia sudah dikenal sebagai seorang ulama yang seringkali diminta fatwanya oleh pihak kerajaan. Pada tahun 1845, Raja Ali bin Raja Jafar diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda Riau Ke-VIII, dan Raja Ali Haji dikukuhkan sebagai penasehat keagamaan negara. Pada tahun 1858, Yang Dipertuan Muda Riau ke-IX, Raja Abdullah Mursyid mangkat, maka Raja Ali Haji diberi amanat untuk mengambil alih segala urusan hukum yaitu semua urusan yang menyangkut jurisprudensi Islam. Meskipun ia memiliki posisi penting di pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga, hal itu tak membuat produktivitasnya dalam menulis menjadi surut.
Begitu piawainya ia menulis dan merangkai kata-kata, sehingga hasil karyanya meliputi berbagai bidang bahasan, seperti keagamaan, kesusastraan Melayu, politik, sejarah, filsafat, dan juga hukum. Lewat karya-karya tersebut, Raja Ali Haji membuktikan dirinya tidak hanya sekadar sejarawan, tapi juga seorang ulama, pujangga, dan sastrawan yang memiliki komitmen memelihara nilai keislaman serta rasa tanggung jawab terhadap masyarakat. Ia dikenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat karyanya Pengetahuan Bahasa yang menjadi standar bahasa Melayu yang kemudian dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Ia juga dikenal sebagai sejarawan lewat karya monumentalnya berjudul Tuhfat al-Nafis, dan sebagai sastrawan lewat karyanya Gurindam Duabelas.
Raja Ali Haji wafat pada tahun 1873 dan dimakamkan di Pulau Penyengat, tepatnya di kompleks pemakaman Engku Putri Raja Hamida. Untuk melestarikan karya-karyanya, pada awal tahun 1890, segenap sanak keluarganya mendirikan perkumpulan bernama Rusdyiah Club yang bergerak di bidang pembinaan umat serta penerbitan buku-buku Islami.
2. Pemikiran/Pengaruh
Sebagai sosok ulama dan kalangan elit kerajaan, pemikiran Raja Ali Haji lebih banyak berkisar pada upaya restorasi kerajaan dan tradisi Melayu pada masa itu. Pemikiran tersebut, sebagian besar tertuang dalam berbagai karyanya. Dalam Tuhfat al-Nafis, disebutkan bahwa suasana Melayu telah memasuki masa modern dan kolonialisme, dimana masyarakat Melayu tengah menghadapi perubahan-perubahan di bidang sosial dan budaya. Maka Raja Ali Haji tampil sebagai seorang askar kerajaan untuk menjaga keberlangsungan tradisi dan budaya Melayu. Pemikiran Raja Ali Haji dinyatakan melalui himbauan moral yang ditujukan kepada elit kerajaan yang berkuasa, agar melaksanakan kekuasaan mereka berdasarkan nilai dan norma islami.
Dalam Tsamarat al-Muhimmah, Raja Ali Haji juga menegaskan bahwa prasyarat untuk menjadi seorang raja dan elit kekuasaan, yaitu: harus beriman, cakap, adil, bijaksana, serta syarat-syarat lain yang menjadi kriteria konsep penguasa ideal. Baginya, kerajaan merupakan sistem politik yang tepat untuk membangun masyarakat Melayu. Oleh karena itu, kedudukan raja sangat penting dalam pembentukan kehidupan sosial-keagamaan kerajaan dan masyarakat. Bahkan pada salah satu pembahasannya, ia mengetengahkan kritik pedas terhadap perilaku politik raja-raja Melayu yang dinilai telah menyimpang dari nilai-nilai Islam. Dalam hal ini, ia menunjuk pada konflik politik antara Sultan Mahmud dan Raja Indra Bungsu, yang berujung pada terjadinya kerusuhan pada tahun 1787. Menurut Raja Ali Haji, kasus ini merupakan bukti bahwa ajaran Islam, khususnya pengendalian hawa nafsu, telah terabaikan dalam kehidupan politik raja-raja Melayu. Dalam pemikiran-pemikiran yang dilontarkan, Raja Ali Haji berusaha membangun kembali supremasi politik kerajaan Melayu sebagai satu bangunan sosial-politik bagi masyarakat Melayu.
Pemikiran Raja Ali Haji tersebut banyak berpengaruh pada masyarakat Melayu, khususnya para seniman dan budayawan di daerah Sumatera, Jawa, Malaysia, Singapura, Brunei, bahkan sampai ke Belanda.
3. Karya-karya
Sebagai sosok ulama, pujangga, sejarawan dan budayawan, Raja Ali Haji telah banyak melahirkan karya berupa naskah dan cetakan dalam huruf Arab, antara lain:
· Bustan al-Katibin Li al-Subyan al-Mutaallimin, Yayasan Kebudayaan Indera Sakti Pulau Penyengat, (tahun 1983)
· Kitab Pengetahuan Bahasa, diterbitkan oleh Al-Mathba at Al-Ahmadiyah/Al-Ahmadiah Press, Singapura (tahun 1345 AH).
· Syiar Hoekoem Nikah,
· Syair Siti Shianah Shahib al-Ulum wa al-Amanah, Yayasan Kebudayaan Indera Sakti Pulau Penyengat (tahun 1983).
· Gurindam Dua Belas dan terjemahannya dalam bahasa Belanda oleh E. Netscher De Twaalf Spreukgedichten, diterbitkan oleh Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap II, Batavia (tahun 1854).
· Muqaddimah Fi Intizam al-Wazaif al-Mulk, diterbitkan oleh Pejabat Kerajaan Lingga (tahun 1304 AH).
· Tsamarat al-Muhimmah, diterbitkan oleh Pejabat Kerajaan Lingga (tahun 1304 AH).
· Sinar Gemala Mestika Alam, diterbitkan oleh Mathba at Al-Riauwiyah, Pulau Penyengat (tahun 1313 AH).
· Silsilah Melayu dan Bugis, diterbitkan oleh Al-Imam, Singapura (tahun 1911).
· Suluh Pegawai, diterbitkan oleh Mathba at Al-Ahmadiah, Singapura (tahun 1342 AH).
· Siti Shianah, diterbitkan oleh Mahtha at Al-Ahmadiah/Al-Ahmadiah Press, Singapura (tahun 1923).
· Tuhfat Al-Nafis, diterjemahkan oleh R.O Winstedt dan diterbitkan oleh The Malayan Branch of Royal Asiatic Society, Singapura (tahun 1932).
· Syair Abdul Muluk, Singapura.
Selain karya-karya tersebut di atas, Raja Ali Haji juga memiliki karya yang dicetak dalam huruf Latin, antara lain:
· E. Netscher, De twaalf spreukgedichten; Een Maleisch gedicht door Radja Ali Hasji van Riouw, uitgegeven en van de vertaling en aanteekeningen voorzien, Tijdschbrift voor indische Taal-, Land-en Volkenkunde 2 : 11-32 (tahun 1854).
· Bustanu al-Katibin, diterjemahkan oleh H. Von de Wall, Boekbeoordeling door H von de Wall: Kitab Perkeboenan bagi kanak-kanak jang hendak menoentoet berladjar akan dija, Tjidschrift voor Indische Taal-, Landen Volekenkunde (tahun 1870).
· Tuhfat Al-Nafis, diterjemahkan oleh Encik Munir bin Ali, Malaysian Publication Ltd., Singapura (tahun 1965).
· The Precious Gift (Tuhfat al-Nafis), diterjemahkan oleh Virginia Matheson & Barbara Watson Andaya, Oxford University Press, Kuala Lumpur (tahun 1982).
· Tuhfat Al-Nafis: Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, diterjemahkan oleh Virginia Matheson, Fajar Bakti, Petaling Jaya (tahun 1982).
· Gurindam Dua Belas, dalam Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi; Sebuah Antologi, Pustaka Firdaus, Jakarta (tahun 1985).
· Kitab Pengetahuan Bahasa, diterjemahkan oleh R. Hamzah Yunus, Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pekanbaru (tahun 198-1987).
· Syair Abdul Muluk, Balai Poestaka, Batavia, (tanpa tahun).
· Syair Abdul Muluk, diterjemahkan oleh Siti Syamsiar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pekanbaru (tahun 1988-1989).
· Tuhfat al-Nafis, Virginia Matheson Hooker, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur (tahun 1991).
· Syair Suluh Pegawai, Al-Mathba ah al-Ahmadiyah/al-Ahmadiah Press, Singapura (17 Rabiul Awal 1342 AH/1923).
· Penyair dan Tuan Puteri, dalam Berkala Sastra Menyimak, terbitan ketiga 28 April – 28 Juli, Pekanbaru (tahun 1993).
4. Penghargaan
Raja Ali Haji dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, atas karyanya Kitab Pedoman Bahasa yang ditetapkan sebagai Bahasa Nasional, Bahasa Indonesia, dari Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (10 November 2004). --------------- Informasi lebih lanjut mengenai Raja Ali Haji silakan lawati website www.rajaalihaji.com
Ditulis oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah - Di Artikle Ulama Nusantara